Fenomena Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia: Sebuah Refleksi Sosial

2025-09-20 | Aji Hardiansah

Data Pernikahan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka pernikahan di Indonesia terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2014, terdapat 2.110.776 pernikahan. Namun, pada 2024, jumlahnya turun menjadi hanya 1.478.302—angka terendah dalam kurun waktu satu dekade.

Sebaliknya, angka perceraian justru mengalami peningkatan. Pada 2014, terdapat 344.237 kasus perceraian. Angka ini naik menjadi 394.608 pada 2024, dengan puncaknya terjadi di tahun 2022 pasca-pandemi COVID-19, yakni 516.344 kasus.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengaitkan fenomena ini dengan beberapa faktor utama: pendidikan, finansial, dan kondisi tempat tinggal. Tapi sebenarnya, apa yang terjadi dengan generasi sekarang hingga pernikahan semakin ditunda atau bahkan ditinggalkan?

Faktor Pendidikan: Kenalilah Dirimu Dulu

Faktor pendidikan sangat memengaruhi kesiapan seseorang dalam membangun rumah tangga. Banyak pernikahan yang dilakukan karena dorongan emosi sesaat atau sekadar memenuhi tekanan sosial, tanpa pemahaman akan tanggung jawab yang datang setelahnya.

Sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, seseorang harus terlebih dahulu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kenali dulu dirimu: apakah kamu sudah bisa mengurus, mengatur, dan memahami kebutuhan emosionalmu sendiri? Karena pernikahan bukan sekadar cinta, tapi tentang berbagi beban hidup bersama.

Faktor Finansial: Negara, Rakyat, dan Inovasi

Isu finansial menjadi alasan klasik dan nyata. Pengangguran masih tinggi, lapangan kerja terbatas, harga kebutuhan pokok meningkat. Dalam bahasa Sunda, Hesdud – hese duit – alias susah uang.

Tapi pertanyaannya, apakah benar masalahnya hanya karena kurang uang? Atau justru karena sumber daya manusia (SDM) kita belum siap bersaing? Terlalu banyak yang hanya menunggu bantuan, terlalu sedikit yang mau bergerak dan belajar.

Dulu, orang tua kita bisa hidup dengan kesederhanaan dan anak banyak. Tapi sekarang zaman sudah berubah. Teknologi berkembang, dan jika kita tidak upgrade diri, kita akan tertinggal dan menjadi korban inovasi orang lain.

Setiap bisnis dan usaha yang sukses pasti ada perjuangan di baliknya. Misalnya, orang jualan jus—yang bertahan bukan yang itu-itu saja, tapi yang berinovasi, mengikuti zaman, belajar terus, meski modalnya terbatas. Maka, bukan hanya doanya yang harus kuat, tapi juga ikhtiarnya.

Haruskah Negara Turun Tangan?

Negara tentu punya tanggung jawab. Fasilitasi rakyat, bukan hanya dengan bantuan langsung atau pajak, tapi dengan membangun sistem ekonomi yang memihak rakyat kecil. Pendidikan vokasi, pelatihan digital, dan program wirausaha seharusnya digencarkan—bukan sekadar slogan.

“Jika rakyatnya berkembang, negara pun ikut maju. Tapi jika negara terlalu sibuk dengan pajak, rakyat bisa kehilangan arah.”

Kesimpulan

Pernikahan bukan hanya soal dua hati yang bersatu. Ia adalah kesepakatan besar antara dua pribadi yang siap berbagi hidup—dalam suka dan duka. Angka penurunan pernikahan dan kenaikan perceraian adalah cerminan bahwa kita butuh lebih banyak edukasi tentang tanggung jawab, bukan sekadar soal cinta.

Bagi generasi muda: jangan buru-buru menikah hanya karena tuntutan sosial, tapi juga jangan takut menikah karena keadaan. Kenali dirimu, siapkan mental dan finansialmu, lalu pilih pasangan yang mau tumbuh bersama. Dan untuk negara: bantu rakyat bukan hanya saat sudah jatuh, tapi saat sedang berjuang untuk bangkit.