Banyak orang menenangkan diri dengan berkata bahwa ini “ujian”, namun ketika setiap tahun bencana datang bertubi-tubi, pertanyaannya berubah: kita ini murid apa atlet? Ini bukan sekadar banjir atau longsor. Ini benturan antara perubahan iklim global dan kerusakan ekosistem lokal—dan sebagian besar kerusakan tersebut adalah ulah manusia.
Kenyataan Pahit di Lapangan: Bukan Takdir Semata
Sumatera memang punya risiko alam seperti gempa dan tsunami, sebuah takdir geologi. Namun banjir bandang dengan arus sekuat mobil balap tidaklah murni takdir. Menurut BMKG, curah hujan memang ekstrem, tetapi WALHI Sumut menegaskan bahwa penyebab utama kerusakan adalah pembabatan hutan dan rusaknya ekosistem hulu akibat pembukaan lahan besar-besaran.
Perbandingan hulu sungai dari tahun 2010 dan 2025 menunjukkan perbedaan mencolok, ibarat rambut Cristiano Ronaldo yang lebat dibanding rambut yang mulai menipis: satu masih penuh, satu sudah gundul.
Pemerintah memang cepat dalam evakuasi, membangun posko, dan hunian sementara. Tetapi itu semua hanyalah solusi darurat. Jika akar masalahnya—yakni kerusakan lingkungan—tidak dibenahi, maka setiap tahun kita akan kembali menghadapi tragedi yang sama.
Dilema Ekonomi vs Etika: Ketika Serakah Menjadi Masalah Utama
Ketika ditanya siapa yang salah, kenyataannya adalah rangkaian pihak yang saling terhubung: investor, perusahaan, pemerintah lokal, hingga masyarakat. Perusahaan membuka hutan untuk tambang, perkebunan, atau sawit skala besar, lalu merekrut masyarakat lokal. Masyarakat menerima karena masalah ekonomi nyata: hidup perlu makan.
Di sinilah terbentuk izin sosial. Perusahaan mendapat legitimasi, masyarakat mendapat pekerjaan. Namun sering kali yang paling membuat rusak bukan rakyat kecil, melainkan para pengambil keputusan yang mengabaikan etika.
Para pejabat terdidik, para petinggi perusahaan memahami risiko lingkungan, tetapi tetap memilih jalan pintas. Ini bukan krisis SDM, melainkan krisis moral. Jika moral ditebas, hutan ditebas, dan aturan diterabas, maka bencana datang tanpa permisi.
Suara Rakyat yang Tenggelam: Mengapa Sulit Melawan?
Mungkin ada yang bertanya: mengapa masyarakat tidak protes? Jika protes semudah komentar di TikTok, mungkin negeri ini sudah aman sejak lama. Kenyataannya, kekuatan sangat tidak seimbang.
1. Perusahaan Punya Modal Besar
Mereka memiliki dana, pengacara, koneksi, dan kemampuan melobi berbagai pihak.
2. Kriminalisasi Aktivis
Aktivis yang bersuara sering mendapat ancaman, bahkan kriminalisasi.
3. Ketakutan Kehilangan Pekerjaan
Bagi sebagian warga, bekerja di perusahaan adalah satu-satunya sumber penghasilan.
Ada banyak pejabat baik, akademisi idealis, mahasiswa, dan aktivis lokal yang berjuang. Namun suara mereka sering tenggelam oleh intimidasi dan tekanan politik maupun ekonomi.
Solusi Konkret: Kekuatan Ada di Tangan Masyarakat
Berikut adalah beberapa solusi dan langkah konkret yang bisa ditempuh masyarakat:
1. Penguatan Organisasi dan Solidaritas Internal
Kekuatan masyarakat terletak pada persatuan dan organisasi yang solid.
Membangun Jaringan Komunitas: Bentuklah organisasi warga, kelompok tani, atau lembaga adat yang kuat dan independen (tidak diintervensi oleh perusahaan atau pemerintah). Solidaritas ini adalah kunci agar masyarakat tidak mudah dipecah belah dengan politik “bagi-bagi kue”.
Satu Suara: Pastikan ada kesepakatan bersama mengenai sikap terhadap kebijakan eksploitasi. Jika sebagian menolak dan sebagian menerima, gerakan akan lumpuh.
2. Peningkatan Kapasitas Pengetahuan
Masyarakat perlu membekali diri dengan pengetahuan yang relevan.
Pahami Informasi dan Regulasi: Pelajari hak-hak dan aturan yang berlaku. Pengetahuan ini bisa menjadi “senjata” untuk menyikapi kebijakan atau tindakan yang merugikan.
Dokumentasi dan Data: Kumpulkan bukti dan data secara sistematis. Data yang terukur jauh lebih kuat sebagai dasar argumen.
Memanfaatkan Teknologi: Gunakan media sosial atau platform digital untuk menyebarkan informasi, mencari dukungan, serta mendokumentasikan kejadian di lapangan.
3. Mencari Dukungan Eksternal
Masyarakat lokal sering membutuhkan bantuan dari pihak luar untuk memperkuat posisi mereka.
Bergabung dengan LSM: Organisasi non-pemerintah memiliki pengalaman, jaringan, dan sumber daya untuk mendampingi masyarakat.
Melibatkan Akademisi/Universitas: Peneliti atau dosen dapat membantu melakukan kajian independen mengenai dampak lingkungan atau sosial.
Membangun Opini Publik: Gunakan media dan jaringan advokasi untuk menciptakan kesadaran publik dan memberikan tekanan kepada pihak terkait.
4. Mengembangkan Alternatif Berkelanjutan
Masyarakat perlu memiliki pilihan lain agar tidak tergantung pada praktik yang merusak lingkungan.
Pengembangan Ekonomi Lokal: Bangun ekonomi berbasis potensi lokal yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Akses Sumber Daya: Dorong pemerintah atau lembaga pendukung untuk membuka akses pendanaan, pelatihan, atau sarana pendukung lainnya.
5. Jalur Formal dan Advokasi
Advokasi: Gunakan jalur resmi untuk menyampaikan protes, keberatan, atau rekomendasi terkait kebijakan.
Tekanan Publik dan Politik: Manfaatkan momentum politik, kampanye publik, dan hak pilih untuk mendukung pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan dan masyarakat.
Penutup: Saatnya Bertransformasi Menjadi Kekuatan Perubahan
Secara ringkas, masyarakat perlu bertransformasi dari sekadar penerima dampak menjadi pihak yang aktif, terorganisir, memiliki pengetahuan, serta mampu menciptakan alternatif dan menyuarakan aspirasinya melalui jalur yang tepat. Proses ini membutuhkan waktu, ketekunan, dan keberanian. Namun semakin kuat masyarakat berdiri, semakin sulit kekuasaan manapun untuk mengabaikan suara mereka.