PERADABAN-PERADABAN INI KOLAPS KARENA MENGEKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM: APA YANG BISA KITA PELAJARI DARI MEREKA?

2025-12-13 13:46 | Aji Hardiansyah

Pelajaran dari peradaban yang runtuh akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali

Sejarah memberi pelajaran bahwa peradaban bisa kolaps tidak selalu karena perang atau wabah penyakit. Banyak peradaban runtuh justru karena ulah manusia sendiri yang rakus mengeruk sumber daya alam tanpa batas.

Dari peradaban besar yang pernah berjaya, tidak sedikit yang akhirnya hancur karena salah kelola alam mereka sendiri. Ironisnya, justru di puncak kejayaan itulah mereka mulai menggali kuburannya sendiri.

Dalam buku Collapse, Jared Diamond mengajak kita menelusuri bagaimana peradaban-peradaban besar akhirnya runtuh, salah satunya akibat eksploitasi alam yang brutal dan kegagalan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Diamond mengingatkan bahwa faktor utama runtuhnya banyak peradaban bukan hanya ancaman dari luar, tetapi keputusan manusia di dalam peradaban itu sendiri yang keliru.

Sebelum kita terjebak dalam siklus yang sama dan mengulangi kesalahan serupa, mari kita bahas beberapa contoh nyata.

Contoh 1: Pulau Paskah (Easter Island / Rapa Nui)

Pulau Paskah atau Rapa Nui adalah pulau kecil yang sangat terisolasi di tengah Samudra Pasifik. Penduduknya tiba sekitar tahun 1200 M dan membangun peradaban unik dengan patung batu raksasa yang dikenal sebagai Moai.

Moai merupakan simbol status sosial dan kepercayaan religius. Mereka percaya patung-patung ini memiliki kekuatan supranatural untuk melindungi komunitas. Semakin besar dan megah Moai, semakin tinggi gengsi kelompok yang membangunnya.

Masalah yang Muncul

Pembuatan patung raksasa membutuhkan tenaga besar dan kayu dalam jumlah masif. Kayu digunakan untuk membuat alat angkut menyerupai kereta dorong guna memindahkan patung ke lokasi penempatan.

Akibat ambisi membangun Moai dan meningkatnya kebutuhan hidup, pohon-pohon besar ditebang di seluruh pulau tanpa memikirkan regenerasi.

Proses Kolaps: Deforestasi dan Dampaknya

  • Deforestasi total: pohon besar, khususnya palm raksasa, punah tanpa regenerasi.
  • Degradasi tanah: erosi parah membuat lahan pertanian tidak subur.
  • Krisis pangan: tanpa kayu, mereka tak mampu membuat perahu kuat untuk menangkap ikan laut dalam.
  • Konflik sosial: kelangkaan sumber daya memicu perang antar suku.

Kondisi Rapa Nui diperparah oleh tikus Polinesia yang memakan biji pohon, serta dampak penyakit dan perbudakan setelah kedatangan bangsa Eropa.

Contoh 2: Peradaban Maya

Peradaban Maya merupakan salah satu peradaban paling maju di Mesoamerika, berkembang pesat sekitar tahun 250–900 M. Mereka membangun kota besar, piramida megah, serta sistem penanggalan dan tulisan yang sangat canggih.

Namun, pembangunan besar-besaran ini membutuhkan kayu dan lahan dalam jumlah besar.

Pembukaan Lahan Pertanian
  • Populasi Maya meningkat drastis hingga jutaan jiwa.
  • Kebutuhan pangan mendorong pembukaan hutan secara masif.
  • Tanaman utama meliputi jagung, kacang-kacangan, labu, dan umbi-umbian.
Pembangunan Bangunan Megah
  • Piramida dan kuil besar membutuhkan plester kapur.
  • Plester dibuat dengan membakar batu kapur menggunakan kayu sebagai bahan bakar.

Ketika hutan habis, tanah mengalami erosi dan kehilangan kesuburan. Peradaban Maya juga menghadapi kekeringan ekstrem berkepanjangan yang menurunkan hasil panen.

Alih-alih beradaptasi, kota-kota besar seperti Tikal, Calakmul, Copan, dan Palenque saling berperang untuk memperebutkan sumber daya yang makin langka.

Perang mempercepat kehancuran ekonomi dan memperparah kolaps. Meski tidak punah sepenuhnya, peradaban Maya terpecah menjadi komunitas kecil yang bertahan hingga era kolonial.

Contoh 3: Bangsa Viking di Greenland

Sekitar tahun 980 M, Erik the Red memimpin bangsa Viking dari Islandia ke Greenland dan mendirikan dua pemukiman besar: Eastern dan Western Settlement.

Populasi mereka sempat mencapai 4.000–5.000 jiwa. Mereka hidup dari pertanian, peternakan, dan perdagangan gading walrus ke Eropa.

Kegagalan Adaptasi Lingkungan

Sistem pertanian ala Eropa Utara tidak cocok dengan ekosistem Greenland. Penggembalaan berlebihan oleh sapi, kambing, dan domba merusak vegetasi lokal dan mempercepat degradasi tanah.

Saat memasuki era Little Ice Age, suhu global turun, musim tanam memendek, panen gagal, dan jalur dagang ke Eropa terputus.

Di sisi lain, masyarakat Inuit mampu bertahan karena pola hidup berburu dan teknologi yang lebih adaptif terhadap iklim ekstrem.

Meskipun sebagian Viking mencoba beradaptasi, degradasi lingkungan, perubahan iklim, dan isolasi ekonomi membuat koloni ini akhirnya ditinggalkan pada pertengahan abad ke-15.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

1. Eksploitasi Sumber Daya Alam Tanpa Kendali

Eksploitasi tanpa regenerasi berujung pada kehancuran. Deforestasi dan over-eksploitasi merusak ekosistem secara permanen. Dunia modern menghadapi masalah serupa: hutan tropis habis, overfishing, serta polusi tanah dan air.

2. Keputusan Politik yang Gagal dan Berpikir Jangka Pendek

Pemimpin yang lebih mementingkan status, kekuasaan, dan keuntungan jangka pendek mempercepat kehancuran. Pola ini masih terlihat dalam kebijakan modern.

3. Kegagalan Beradaptasi dan Mengabaikan Kearifan Lokal

Viking Greenland gagal karena memaksakan gaya hidup yang tidak sesuai lingkungan, sementara masyarakat Inuit justru bertahan berkat adaptasi.

Penutup

Kolaps peradaban jarang terjadi secara instan. Biasanya melalui proses panjang yang penuh kesalahan berulang. Sering kali manusia baru sadar saat sudah terlambat.

Dunia modern tidak jauh berbeda. Kita terus menekan bumi seolah sumber daya tak punya batas, lebih peduli pada angka GDP dan profit daripada kesehatan lingkungan.

Mungkin teknologi kita lebih canggih, tetapi tanpa perubahan cara berpikir, teknologi justru bisa mempercepat kehancuran.