Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Presiden Prabowo Subianto sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, mengimbau generasi muda Indonesia untuk tidak lagi menggantungkan nasib pada lowongan kerja pemerintah. Menurutnya, hal tersebut mencerminkan pola pikir kolonial yang sudah tidak relevan.
Imbauan ini kemudian memicu diskusi di masyarakat. Di satu sisi, ada dorongan untuk mandiri dan kreatif, namun di sisi lain muncul pertanyaan: apakah semua orang memang bisa menjadi pengusaha?
Apa Kata Rahayu Saraswati?
Dalam sebuah pernyataan, Rahayu mengatakan:
“Kalau punya kreativitas, jadilah pengusaha. Jadilah entrepreneur daripada ngomel nggak ada kerjaan. Bikin kerjaan buat teman-teman. Kalau lo bisa masak, bikinlah bisnis kuliner. Bisa jahit, bikinlah bisnis fashion.”
Rahayu juga menekankan pentingnya investasi sebagai strategi finansial anak muda, menggantikan ketergantungan pada tabungan atau bantuan pemerintah.
Fakta Lapangan: Tidak Semua Bisa Jadi Pengusaha
Menjadi pengusaha memang terlihat menarik. Namun realitanya, tidak semua masyarakat memiliki akses modal, pendidikan bisnis, atau bahkan waktu untuk mengambil risiko. Banyak yang hidup dalam tekanan ekonomi harian, sehingga fokus utama mereka adalah bertahan hidup, bukan bereksperimen.
Yang juga perlu dipahami, menjadi wirausaha muda butuh kombinasi dari mindset, dukungan sosial, dan lingkungan yang kondusif — yang tidak semua orang punya. Tak heran jika banyak yang lebih memilih bekerja secara formal.
Kalau Semua Jadi Pengusaha, Siapa yang Jadi Pekerja?
Dunia ini butuh keseimbangan. Tidak semua orang harus menjadi pemilik usaha. Ada yang memang unggul di bidang teknis, ada yang ingin hidup stabil sebagai profesional. Mengarahkan semua generasi muda untuk jadi pengusaha hanya akan menciptakan ilusi dan ekspektasi yang tidak seimbang.
Bahkan jika seseorang sukses jadi entrepreneur, pada akhirnya ia tetap butuh tim. Maka, ekosistem yang sehat adalah ketika pemerintah membuka banyak pilihan jalur: pengusaha, profesional, tenaga kreatif, dan pekerja sektor publik.
Pola Pikir Kolonial atau Hak Rakyat?
Rahayu menyebut permintaan loker dari rakyat sebagai pola pikir kolonial. Namun masyarakat menganggap bahwa mencari pekerjaan dari pemerintah adalah bagian dari hak sebagai warga negara. Terlebih, janji 19 juta lapangan kerja sempat digaungkan dalam kampanye.
Maka wajar jika publik menagih realisasi tersebut. Mengimbau rakyat agar jangan berharap pekerjaan, padahal pemerintah belum optimal menciptakan lapangan kerja, justru membuat masyarakat merasa tidak dipahami.
Bisakah Semua Orang Sukses Jadi Wirausahawan?
Studi dari University of Scranton menyatakan hanya 8% orang yang berhasil mewujudkan tujuan jangka panjang, termasuk dalam bisnis. Artinya, mayoritas tidak sampai pada level keberhasilan.
Jadi, jika pemerintah ingin masyarakat menjadi entrepreneur, seharusnya ada program serius: akses modal, pelatihan, mentoring, dan penghapusan regulasi yang mempersulit usaha mikro.
Solusi: Kolaborasi, Bukan Paksaan
Masyarakat bukan tidak mau mandiri, mereka hanya ingin realistis. Perlu kebijakan yang menghormati keunikan tiap individu. Tidak semua harus jadi pengusaha, tapi semua berhak untuk berkembang di jalur masing-masing.
Pemerintah sebaiknya memfasilitasi:
- Pelatihan kewirausahaan berbasis komunitas
- Inkubator UMKM dan bisnis digital
- Reformasi perizinan untuk usaha kecil
- Perlindungan hukum bagi pengusaha baru
Kesimpulan
Menjadi pengusaha bukan satu-satunya jalan. Yang terpenting adalah menjadi pribadi yang berdaya, baik sebagai pengusaha, karyawan, maupun profesional.
Rakyat bukan anti perubahan, tapi perubahan butuh peran serta semua pihak—terutama negara yang punya sumber daya. Maka, daripada mengimbau rakyat untuk mandiri tanpa dukungan nyata, lebih baik membuka ruang dan akses yang adil bagi semua.
“Negara harus memanusiakan rakyatnya dengan kebijakan, bukan sekadar motivasi kosong.”