Apakah Pengaruh Kerja Keras dengan Usaha yang Dilakukan Bisa Ubah Nasib?

2025-10-31 | Aji Hardiansyah

apakah pengaruh kerja keras dengan usaha yang dilakukan

Apakah Kerja Keras Aja Cukup untuk Mengubah Nasib?

Gimana biar yang terlahir miskin gak terlalu miskin? Apakah kerja keras aja cukup? Sering banget kita dengar kalimat kayak, “Kalau lo masih miskin, berarti lo kurang kerja keras aja.” Atau, “Gue bisa sukses, berarti lo juga bisa dong.” Bahkan ada juga yang bilang, “Lo lahir miskin bukan salah lo, tapi kalau lo mati miskin, itu salah lo sendiri.”

Kedengarannya memang motivatif. Tapi, kalau kita lihat lebih luas, kenyataannya gak sesederhana itu. Di dunia nyata, gak semua orang mulai dari titik start yang sama. Ada yang lahir dari keluarga aman, punya akses pendidikan bagus, kesehatan memadai, dan jaringan sosial yang kuat. Sementara yang lain harus berjuang cuma buat bisa makan atau lanjut sekolah.

Realita di Balik Kalimat "Kerja Keras Aja Cukup"

Quote semacam itu kedengarannya bijak, tapi sering menutup mata dari realita sosial yang lebih kompleks. Kalau nasib gak sepenuhnya ditentuin sama usaha, berarti ada faktor lain yang lebih besar yang menentukan peluang hidup seseorang. Nah, yuk kita bahas!

Peluang Naik Kelas Sosial

Gak semua orang mulai dari posisi yang sama. Sejauh mana seseorang bisa naik atau turun dari kondisi keluarganya disebut mobilitas sosial. Istilah ini menggambarkan peluang seseorang buat memperbaiki posisi ekonomi dibanding generasi sebelumnya.

1. Mobilitas Absolut

Ngukur seberapa banyak orang hidup lebih baik dari generasi sebelumnya. Ini nunjukin kalau ekonomi secara umum tumbuh dan semua orang ikut terdorong naik bareng.

2. Mobilitas Relatif

Ngukur seberapa besar peluang orang dari kelas bawah buat nyusul kelas atas. Ini soal seberapa adil sistemnya dalam ngasih kesempatan buat semua orang berkembang.

Jadi, negara bisa punya ekonomi tumbuh cepat, tapi kalau peluang naik kelas sosial masih didominasi orang-orang kaya, artinya mobilitas relatifnya rendah.

Data dari World Economic Forum

Berdasarkan Social Mobility Index (SMI) tahun 2020 dari World Economic Forum, Indonesia menempati peringkat 67 dari 82 negara. Di ASEAN, Indonesia sedikit lebih baik dari Laos. Negara lain seperti Singapura (peringkat 20), Malaysia (43), Vietnam (50), Thailand (55), dan Filipina (61) semuanya punya skor di atas 50. Lima besar dunia didominasi oleh negara-negara Nordik — negara yang rata peluang sosialnya, bukan sekadar kaya.

Terlahir Miskin di Negara dengan Mobilitas Sosial Rendah

Kalau seseorang lahir miskin di negara dengan indeks mobilitas sosial rendah, peluangnya buat naik kelas juga rendah. Contohnya, kalau lo lahir miskin di Denmark, peluang lo buat mengubah nasib jauh lebih besar dibanding kalau lahir di Indonesia. Di Denmark, sistem pendidikan gratis, layanan kesehatan merata, dan pajak progresif menjaga kesenjangan tetap terkendali.

Sementara di Indonesia, banyak keluarga miskin masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Akses pendidikan, gizi, dan pekerjaan berkualitas masih sangat bergantung pada kondisi ekonomi keluarga.

Faktor yang Menentukan Mobilitas Sosial

Negara dengan mobilitas sosial tinggi biasanya punya fondasi kuat di aspek dasar berikut:

1. Kesehatan

Anak yang kekurangan gizi atau gak punya akses kesehatan sejak kecil, udah kalah di garis start.

2. Pendidikan

Tangga utama buat naik kelas sosial. Kalau anak kaya bisa sekolah bagus dengan fasilitas lengkap, sementara anak miskin cuma bisa di tempat seadanya, peluangnya jelas timpang dari awal.

3. Akses Teknologi

Bisa jadi alat penyamarataan peluang, tapi juga bisa jadi jurang baru. Negara dengan internet cepat dan murah punya kesempatan belajar dan kerja digital yang lebih besar.

4. Dunia Kerja

Sistem kerja yang adil dan upah layak bikin orang bisa berkembang. Kalau mayoritas tenaga kerja terjebak di sektor informal bergaji rendah, naik kelas jadi mimpi.

5. Institusi dan Perlindungan Sosial

Institusi yang adil bikin masyarakat punya rasa aman untuk berkembang. Negara bebas korupsi dan punya sistem sosial kuat biasanya punya mobilitas sosial tinggi.

Apakah Kerja Keras Aja Cukup?

Kerja keras tetap penting. Tapi tanpa sistem yang adil, hasilnya hanya berpihak ke segelintir orang yang udah di posisi aman dari awal. Filsuf Michael Sandel dalam bukunya The Tyranny of Merit bilang: “Semakin kita merasa sukses karena diri sendiri, semakin kecil empati kita terhadap mereka yang kurang beruntung.”

Artinya, kalau kesuksesan dianggap murni hasil kerja keras, kegagalan orang lain pun dianggap kesalahan pribadi — padahal gak sesederhana itu. Ada banyak faktor di luar kendali individu yang menentukan peluang sukses seseorang.

Kesimpulan

Apakah kerja keras aja cukup? Jawabannya: belum tentu. Kerja keras penting, tapi tanpa sistem yang adil — pendidikan merata, akses kesehatan, teknologi, dan perlindungan sosial — hasilnya gak akan seimbang.

Ngubah nasib bukan cuma soal seberapa keras seseorang berusaha, tapi seberapa adil sistem di sekelilingnya memberi kesempatan untuk berusaha. Kalau peluang dari awal gak setara, meritokrasi cuma jadi setengah kebenaran.

Sumber referensi: @zeniusedu, Instagram Zenius, dan FaisalBasri.com