Hilang Esensi Cinta Damai?
Menurut saya, zaman sekarang banyak sekali para pemuka agama atau orang yang berpendidikan agama yang terlihat mudah marah. Ketika ada sesuatu yang menyinggung ras atau keyakinan tertentu, sebagian dari mereka langsung mengamuk, menindak semena-mena, dan marah-marah tanpa berpikir panjang. Padahal, bukankah agama seharusnya mengajarkan tentang cinta damai dan kasih sayang antar sesama?
Belajar dari Nabi Terakhir yang Langsung Dibimbing Sang Pencipta
Kalau kita lihat kisah nabi terakhir, sebelum beliau berdakwah dan menyebarkan agamanya, beliau terlebih dahulu belajar dari kitab suci yang berisi kisah para nabi terdahulu. Dan kitab itu langsung diturunkan oleh Sang Pencipta — sebagai bimbingan dan persiapan agar beliau tahu bahwa menyebarkan agama itu penuh ujian, godaan, cacian, dan tantangan yang luar biasa.
Dengan cara itu, Sang Pencipta seolah mempersiapkan beliau agar tidak “kaget” menghadapi berbagai ujian dan penolakan dari manusia yang bermacam-macam sifat dan perilakunya. Karena itulah nabi terakhir menjadi pribadi yang sangat sabar, bijaksana, dan tidak pernah membalas kebencian dengan kebencian.
Keteladanan Para Nabi Sebelum Nabi Terakhir
Kalau kita membaca kisah para nabi sebelum nabi terakhir, banyak sekali pelajaran berharga yang bisa diambil. Ada nabi yang dicaci maki oleh umatnya sendiri, bahkan sampai tidak kuat menghadapi perilaku mereka. Salah satu contohnya adalah ketika seorang nabi diperintahkan membuat kapal besar karena akan datang banjir dan badai yang dahsyat akibat umatnya tidak mau beriman. Itu semua adalah bentuk ujian, bukan kegagalan.
Dari situlah kita tahu bahwa perjuangan para nabi sebelum nabi terakhir belum sepenuhnya sempurna dalam membawa umatnya menuju keselamatan. Bukan karena mereka gagal, tetapi karena tugas mereka memang berbeda. Sedangkan nabi terakhir — yang mendapat bimbingan langsung dari Sang Pencipta — menyempurnakan ajaran itu dan menjadi satu-satunya nabi yang bisa memberi syafaat kepada umat manusia kelak di surga.
Nabi Terakhir: Tidak Membalas Kebencian dengan Amarah
Salah satu teladan luar biasa dari nabi terakhir adalah ketika beliau diludahi saat beribadah. Namun apakah beliau marah? Tidak. Justru ketika orang yang meludahi itu sakit, beliau datang menjenguk. Di situ kita belajar bahwa cinta dan kasih adalah inti dari ajaran agama, bukan kemarahan atau balas dendam.
Beliau tahu bahwa api tidak bisa dipadamkan dengan api, melainkan dengan air kesejukan hati. Dari sinilah seharusnya para pemuka agama belajar: bahwa marah bukan solusi, dan dakwah dengan cinta jauh lebih kuat dari dakwah dengan amarah.
Ketika Esensi Cinta Damai Mulai Hilang
Sekarang, banyak oknum pemuka agama yang justru kehilangan nilai luhur tersebut. Mereka mudah tersulut emosi saat ajaran atau keyakinannya disinggung, seolah lupa bahwa dakwah itu seharusnya menenangkan, bukan menakutkan.
Padahal, kitab suci yang mereka pelajari adalah mukjizat besar dari Sang Pencipta. Di dalamnya penuh kisah tentang perjuangan, kesabaran, dan bagaimana menghadapi kebencian dengan kebijaksanaan. Tujuannya agar manusia paham arti hidup bermakna dan bisa menyebarkan kebaikan tanpa kebencian.
Agama Itu Bukan Tentang Siapa yang Paling Benar, Tapi Siapa yang Paling Bijaksana
Menyebarkan agama tidak bisa dilakukan dengan amarah. Kalau kebencian dibalas dengan kebencian, hasilnya cuma satu: kehancuran dan hilangnya makna cinta damai itu sendiri. Seharusnya, para pemuka agama menjadi teladan dalam bersikap sabar, menenangkan, dan penuh kasih, bukan sebaliknya.
Esensi cinta damai bukan slogan kosong. Itu adalah wujud nyata dari keimanan. Agama bukan alat untuk menunjukkan siapa yang paling benar, tapi pedoman hidup agar manusia bisa saling menghormati, memahami, dan hidup berdampingan dalam damai.
Pendidikan Agama Seharusnya Jadi Sumber Keteladanan
Sekarang banyak masyarakat menilai pendidikan agama tidak lagi menjadi tempat yang aman. Tapi sebenarnya bukan ajarannya yang salah — melainkan oknum-oknum yang tidak mencerminkan nilai luhur agama itu sendiri. Padahal pendidikan agama seharusnya menjadi pilar utama pembentukan akhlak, adab, dan moral manusia.
Di sanalah seseorang belajar tentang kasih sayang, kesabaran, dan pengendalian diri. Jika itu hilang, maka esensi agama pun ikut memudar.
Menumbuhkan Kembali Cinta Damai
Sudah waktunya para pemuka agama kembali pada ajaran cinta dan kedamaian. Menyebarkan agama harus dilakukan dengan hati yang tenang, bukan amarah. Karena manusia tidak akan mendapat hidayah dari suara yang berteriak, tapi dari hati yang meneduhkan.
Mari belajar lagi dari kisah para nabi terdahulu. Karena pada akhirnya, menyebarkan agama adalah perjalanan panjang penuh ujian, dan hanya dengan cinta serta kebijaksanaanlah kebenaran bisa menyentuh hati manusia.
“Cinta damai bukan kelemahan, tapi kekuatan yang membuat manusia benar-benar beriman.”