Pernah dengar klaim bahwa rata-rata IQ orang Indonesia cuma 78? Angka ini sering dijadikan bahan olok-olok, candaan, atau bahkan untuk merendahkan kemampuan orang Indonesia secara umum. Menurut klasifikasi WAIS-IV, IQ 78 masuk kategori borderline—sedikit di bawah kecerdasan rata-rata. Tapi seberapa valid sebenarnya klaim tersebut?
Banyak orang tidak tahu bahwa angka 78 ini tidak muncul dari tes nasional, bukan dari studi besar, dan bukan dari sampel representatif Indonesia. Angka ini muncul dari serangkaian penelitian yang metode dan sampelnya dipertanyakan. Yuk kita telusuri.
Asal-Usul Klaim IQ 78
Klaim IQ 78 berasal dari penelitian Richard Lynn dan David Becker dalam buku The Intelligence of Nations. Mereka tidak melakukan tes IQ langsung di Indonesia. Mereka hanya mengumpulkan data dari studi kecil yang sudah ada sebelumnya, lalu merata-ratakannya untuk membuat ranking IQ antar negara.
Sampel yang Dipakai untuk Indonesia
1. Penelitian Bleichrodt, Drenth & Queriedo (1980)
- Fokus pada kekurangan zat gizi seperti yodium yang mempengaruhi perkembangan otak.
- Sampel hanya anak-anak dari 2 desa di Jawa Tengah.
- Hasil IQ berkisar 60,09 hingga 88,85.
2. Studi Hadjidjadja et al. (1996)
- Menganalisis pengaruh infeksi cacingan dan edukasi kesehatan pada fungsi kognitif.
- Hasil IQ: 74,48 (kelompok obat cacing saja) sampai 83,89 (kelompok dengan edukasi kesehatan).
3. Studi lain yang dijadikan dasar
- Heilmann (2013): efek stunting pada perkembangan kognitif.
- De Neubourg (2011): dampak PTSD pada anak-anak Banda Aceh pasca tsunami.
Masalahnya? Semua studi ini tidak punya tujuan mengukur kecerdasan nasional Indonesia. Mayoritas fokus pada masalah kesehatan dan trauma—dengan sampel kecil, lokal, dan sangat spesifik.
Dari Mana Angka 78 Muncul?
Lynn menggabungkan semua studi berbeda ini, lalu mengonversi hasilnya ke skala IQ umum (mean 100). Setelah itu, ia menambahkan "koreksi lingkungan", yaitu penyesuaian angka berdasarkan asumsi subjektif tentang kondisi negara—seperti kualitas pendidikan atau gizi.
Hasil akhirnya? Indonesia diberi skor sekitar 78,49. Padahal sumber datanya sempit, tidak seragam, dan koreksinya bergantung pada asumsi pribadi.
Apa Saja Masalah dari Penelitian Lynn?
1. Sampel Tidak Representatif
Data diambil dari anak-anak dengan kondisi kesehatan tertentu seperti stunting, malnutrisi, trauma bencana, atau infeksi cacingan. Jumlah sampelnya kecil dan lokasi terbatas.
Idealnya:
- Sampel nasional yang mewakili berbagai wilayah Indonesia.
- Jumlah peserta besar agar tidak bias.
- Ada keseimbangan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan.
2. Metode Pengambilan Data Bermasalah
Setiap penelitian menggunakan alat tes yang berbeda: CPM untuk anak, SPM untuk orang dewasa, dan kelompok usia yang tidak seragam dicampur jadi satu.
Idealnya:
- Menggunakan alat tes yang sama untuk seluruh sampel.
- Mengontrol usia peserta.
- Standarisasi lingkungan tes.
Banyak ilmuwan mengkritik penelitian Lynn karena metode yang lemah, bias subjektif, dan dasar pengambilan data yang tidak relevan.
Masalahnya IQ atau Kualitas Pendidikan?
Selama ini, narasi bahwa orang Indonesia "bodoh" sering dikaitkan dengan IQ rendah. Padahal, akar masalah jauh lebih kompleks: kualitas pendidikan, akses belajar, gizi, kesehatan anak, dan lingkungan sosial yang tidak merata.
Beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan belajar:
- Distribusi guru tidak merata.
- Kurikulum tidak konsisten.
- Gizi buruk dan stunting.
- Fasilitas pendidikan belum merata.
Anak yang tumbuh di lingkungan seperti itu bukan kurang cerdas—mereka kurang diberi kesempatan. Ketika pendidikan membaik, akses merata, dan metode belajar lebih kuat secara nalar, kemampuan kognitif masyarakat ikut naik.
Kenapa Narasi IQ Rendah Itu Bahaya?
Ketika orang terus mendengar bahwa bangsa ini "IQ-nya rendah", lama-lama muncul keyakinan bahwa kecerdasan memang terbatas. Ini dapat menciptakan siklus negatif: rendah diri, takut gagal, cepat menyerah, dan akhirnya performa beneran menurun.
Narasi ini bukan hanya salah secara data, tapi juga merusak mental kolektif masyarakat Indonesia.
Kesimpulan: Fokus Pada Kesempatan, Bukan Label
Daripada mempercayai angka IQ 78 yang dasarnya lemah dan metodenya bermasalah, jauh lebih penting fokus pada perbaikan pendidikan, gizi, kesehatan, dan lingkungan belajar. Dari situlah kemampuan masyarakat bisa berkembang.
Einstein pernah bilang, “intellectual growth should commence at birth and cease only at death.” Selama kita hidup dan mau belajar, kecerdasan akan selalu bisa bertumbuh.