Kesenjangan Sosial Bukan Soal Miskin dan Kaya, Tapi Akses yang Tidak Setara

2025-11-19 06:58:04 | Aji Hardiansah

ketimpangan sosial di Indonesia

Hari ini, ketimpangan sosial di Indonesia bukan lagi sekadar statistik ekonomi. Ini soal dua kehidupan yang berjalan dalam dunia sosial yang tidak pernah saling bersentuhan.

Satu keluarga sibuk memilih sekolah anaknya di Singapura atau universitas swasta mahal di Jakarta. Sementara di sisi lain, keluarga lain harus memilih: bayar listrik atau beli susu.

Yang satu punya akses terhadap pilihan hidup—pendidikan bagus, kursus, kesehatan, investasi. Yang lain hidup dalam ketidakpastian—harga beras naik, motor belum lunas, anak demam tapi takut ke dokter.

Ini bukan fiksi. Ini realita yang sering tidak terlihat, tidak disadari, atau bahkan sengaja diabaikan. Karena jauh lebih mudah merasa semuanya baik-baik saja daripada menghadapi kenyataan bahwa sistem sosial kita tidak merangkul semua orang secara adil.

Kesenjangan Sosial Bukan Soal Iri atau Kaya-Miskin

Ketimpangan sosial bukan soal siapa kaya dan siapa miskin. Bukan pula soal iri hati. Masalah sebenarnya adalah akses yang tidak merata terhadap hal-hal penting:

  • Pendidikan
  • Pekerjaan dan penghasilan layak
  • Layanan kesehatan
  • Keadilan hukum
  • Peluang ekonomi

Yang membuat ini menjadi masalah serius bukan sekadar jarak antarmanusia, tapi cara sistem mempertahankan jarak itu. Anak dari keluarga berada mendapat “start” jauh di depan: sekolah bagus, gizi cukup, jaringan sosial luas, bahkan warisan properti atau bisnis keluarga. Sementara anak dari keluarga miskin harus mengejar dari jauh—sering kali sambil menahan lapar.

Indikator Nyata Ketimpangan yang Menganga

Laporan Global Wealth Report 2018 menunjukkan fakta mencengangkan: 1% orang terkaya menguasai 46,6% kekayaan nasional. Jika ditambah 10% orang terkaya, mereka menguasai 75,3% kekayaan Indonesia.

Artinya, mayoritas masyarakat hanya berbagi kurang dari seperempat kekayaan nasional.

Gini Ratio: Alarm Ketimpangan

Gini Ratio Indonesia berada pada posisi lebih tinggi dibanding China, Amerika, dan Malaysia. Angkanya menunjukkan ketimpangan pendapatan yang semakin lebar.

Kepemilikan Lahan yang Timpang

Tanah di Indonesia juga dikuasai segelintir pihak. Ironisnya, sebagian besar petani justru tidak punya lahan sendiri—mereka hanya menjadi buruh tani atau penggarap.

Dari Mana Datangnya Ketimpangan?

1. Warisan Sistematis

Kesenjangan bukan sekadar kerja keras atau tidak. Ini tentang di mana kita lahir dan apa yang kita miliki sebelum mengerti dunia ini bekerja.

Contoh perbedaan dasar:

  • Keluarga kaya: akses pendidikan terbaik, nutrisi cukup, rasa aman finansial, jaringan sosial atas, warisan.
  • Keluarga miskin: gizi seadanya, harus bekerja sejak kecil, tidak ada mentor, tidak ada modal, tidak ada warisan.

Warisan sistematis membuat yang kaya semakin di depan—bukan karena mereka lebih hebat, tetapi karena mereka tidak pernah harus mulai dari nol.

2. Kebijakan yang Bias Kelas

Ketimpangan diperparah oleh berbagai keputusan negara: pajak, subsidi, pembangunan infrastruktur, hingga regulasi ekonomi. Kebijakan dapat menjadi alat pemerataan... atau mesin yang memperlebar jurang sosial.

3. Akses yang Tidak Setara

Banyak yang bilang, “yang penting usaha.” Kalimat ini benar… kalau semua orang mulai dari garis start yang sama. Faktanya, tidak semua orang punya akses ke:

  • Pendidikan layak
  • Kesehatan terjangkau
  • Teknologi dan internet

Tanpa akses, usaha keras saja tidak cukup.

Ketimpangan Merusak Semua Orang, Bukan Hanya yang Miskin

Bagi masyarakat miskin:

  • Hidup jadi perjuangan harian.
  • Tidak ada ruang berkembang.
  • Risiko sakit, stress, dan kekerasan lebih tinggi.

Bagi kelas menengah:

  • Biaya hidup melonjak.
  • Rumah makin tidak terjangkau.
  • Terjebak hustle culture.

Bagi yang kaya:

  • Trust sosial menurun.
  • Lingkungan lebih rawan konflik.
  • Politik makin tidak stabil.

Negara yang timpang bukan negara miskin. Tapi negara yang warganya hidup dalam tekanan dari atas sampai bawah.

Ketimpangan Ekstrem Membuat Demokrasi Rapuh

Ketimpangan bukan cuma persoalan ekonomi, tapi ancaman bagi demokrasi. Semakin terkonsentrasi kekayaan pada segelintir orang, semakin besar pengaruh mereka terhadap kebijakan publik.

Pengaruh para elite ekonomi mencakup:

  • Pendanaan kampanye politik
  • Lobi regulasi dan hukum
  • Kontrol media dan opini publik
  • Akses eksklusif kepada pembuat kebijakan

Ketimpangan ekstrem akhirnya membuat politik menjadi mudah dibeli.

Solusi: Perkuat Layanan Publik

Jika ingin masyarakat yang lebih setara, jawabannya bukan sekadar bantuan tunai. Yang lebih penting adalah memperkuat fondasi layanan publik:

  • Pendidikan: harus menjadi hak, bukan kemewahan.
  • Kesehatan: biaya pengobatan harus terjangkau.
  • Transportasi publik: untuk mobilitas kerja, sekolah, dan kegiatan sosial.
  • Layanan sosial lainnya: untuk memberi ruang bertumbuh bagi semua.

Solusi Kebijakan yang Pro-Kesetaraan

  • Reformasi pajak progresif
  • Subsidinya tepat sasaran
  • Infrastruktur sosial, bukan hanya fisik
  • Keadilan dalam pengelolaan lingkungan

Kebijakan publik bukan hanya soal teknis, tapi soal keberpihakan.

Kesimpulan

Kesenjangan sosial hari ini menciptakan dua dunia: satu penuh peluang, satu penuh ketidakpastian. Masalahnya bukan karena orang miskin kurang usaha, tetapi karena tidak semua orang diberi garis start yang sama.

Ketimpangan bukan hanya membuat ekonomi rapuh, tetapi juga merusak demokrasi, kepercayaan sosial, dan masa depan generasi berikutnya.

Solusinya bukan sekadar bantuan tunai. Tapi sistem yang memberi akses adil terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan perlindungan publik.

Negara yang adil bukan yang menyamaratakan beban, tetapi yang menyamaratakan peluang.

Mungkin kita tidak bisa menolong semua orang, tapi kita bisa mulai dengan melihat dunia dengan mata terbuka. Jika sebagian orang selalu di depan dan sebagian lagi selalu tertinggal, mungkin yang perlu diubah bukan nasibnya—tetapi aturannya.