Banyak yang bilang, tugas pelajar itu cuma satu: belajar yang rajin, dapet nilai bagus, terus kerja. Gak usah urus politik, apalagi ikut-ikutan aksi. Tapi bener gak sih pemikiran kayak gini?
Beberapa sekolah atau kampus bahkan melarang keras siswanya ikut aksi, sementara ada juga contoh seperti SMA Kolese Gonzaga yang justru menegaskan bahwa pelajar punya hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi — entah lewat kampanye media sosial, petisi, atau menyuarakan aspirasi.
Pertanyaannya, kalau gitu sebenarnya apa tujuan kita belajar? Apakah cukup cuma belajar dan diam?
Emang Apa Tujuan Kita Belajar?
Kalau kita bilang pelajar harus fokus belajar aja, kita perlu nanya ulang: belajar itu sebenarnya buat apa? Apakah cuma buat nilai bagus, ijazah, dan pekerjaan aman? Kalau iya, wajar orang berpikir pelajar gak usah ribet sama politik.
Tapi menurut Gert Biesta, seorang filsuf pendidikan, pendidikan punya tiga tujuan besar yang jauh lebih luas dari sekadar ujian atau gaji:
1. Bekal Hidup (Qualifications)
Pendidikan memberi bekal keterampilan dan pengetahuan biar kita bisa hidup dan bekerja. Ini penting, tapi bukan satu-satunya tujuan.
2. Bisa Hidup Bareng Orang Lain (Socialization)
Pendidikan juga ngajarin cara hidup bareng orang lain — belajar nilai, budaya, dan aturan main dalam masyarakat.
3. Jadi Manusia Merdeka (Subjectification)
Nah, ini yang sering dilupain. Pendidikan seharusnya bikin kita jadi manusia merdeka: sadar, kritis, dan mampu ambil keputusan sendiri — bukan sekadar nurut aturan atau ngejar ranking.
Jadi Manusia Merdeka, Maksudnya Gimana?
Pendidikan bukan cuma bikin kita bisa kerja atau patuh aturan, tapi membentuk kita jadi manusia yang bisa berpikir kritis dan mandiri. Murid bukan wadah kosong yang diisi pengetahuan, tapi subjek aktif yang diajak mikir dan berani nanya.
- Di kelas: bukan cuma hafalin rumus, tapi juga nanya “kenapa harus pakai rumus ini?”
- Di masyarakat: gak cuma ikut aturan, tapi juga mikir “aturan ini adil gak sih?”
- Dalam hidup pribadi: bukan cuma ikut arus, tapi berani pilih jalan hidup sendiri.
Menurut Biesta, pendidikan sejati melahirkan manusia yang bisa berpikir kritis, bersikap mandiri, dan bertindak sesuai nurani.
Pengetahuan Bukan Tujuan Akhir
Pendidikan sejati bukan berhenti di hafalan atau nilai ujian. Tapi harus melahirkan manusia merdeka yang pakai pengetahuan untuk membaca dunia dan mengubahnya.
Pengetahuan itu alat buat:
- Memahami realitas — kenapa banjir terus terjadi, kenapa harga pangan naik, kenapa masih banyak orang miskin di negara kaya.
- Mengubah realitas — lewat pemahaman itu, kita bisa bikin solusi dan berani mengkritik kebijakan yang gak adil.
Jadi, tujuan belajar bukan cuma tahu banyak hal, tapi juga berani pakai pengetahuan buat ambil keputusan yang sadar dan adil. Nah, salah satu realitas terbesar yang harus kita pahami adalah politik.
1. Politik Ngatur Hidup Kita Sehari-Hari
Politik itu gak cuma debat di gedung DPR atau pilpres lima tahun sekali. Politik hadir di setiap aspek hidup, bahkan hal kecil:
- Harga makanan di kantin → dipengaruhi kebijakan impor dan pajak bahan pokok.
- Ongkos transportasi → bergantung pada subsidi energi dan APBN.
- Biaya kuliah → naik atau turun tergantung kebijakan pendidikan.
Kalau lo bilang “gue gak peduli politik,” itu sama aja kayak nyerahin kendali hidup ke orang lain. Padahal, dengan melek politik, lo bisa ngerti logikanya, kritis, dan ikut dorong keputusan yang lebih adil.
2. Masa Depan Ditentukan Hari Ini
Banyak kebijakan negara sifatnya jangka panjang. Efeknya baru terasa 10–30 tahun ke depan. Politisi mungkin udah pensiun, tapi kita yang masih muda bakal hidup dengan hasil keputusan mereka.
- Lingkungan: izin tambang dan deforestasi bikin krisis air dan udara. Generasi muda yang kena dampaknya.
- Perumahan: harga tanah makin tinggi karena kebijakan yang gak adil.
- Lapangan kerja: aturan industri dan investasi nentuin apakah kita bisa dapet kerja layak atau enggak.
Kalau kita apatis, masa depan bisa ditentukan tanpa suara kita. Itu salah satu penyebab masalah pendidikan di Indonesia juga — kurangnya kesadaran kritis dan partisipasi sosial di kalangan pelajar.
3. Politik Ada di Mana-Mana
Politik bukan cuma soal partai atau kursi kekuasaan. Setiap keputusan yang ngatur kehidupan bersama, itu juga politik — karena ada kuasa dan konsekuensi di dalamnya.
- Di sekolah: aturan tata tertib, transparansi keuangan, siapa yang dihukum — semua itu bentuk politik mikro.
- Di kampus: kebijakan UKT, penggunaan dana BEM, keputusan rektorat — juga bentuk politik.
Jadi, selama ada pengaturan sumber daya dan kewenangan, politik selalu hadir — bahkan dalam hal yang tampak kecil.
Sejarah Sudah Membuktikan
Indonesia 1966 — Gerakan pelajar dan mahasiswa berperan besar dalam perubahan politik. Suara mereka punya pengaruh nyata.
Indonesia 1998 — Mahasiswa menjadi motor utama reformasi dan tumbangnya rezim otoriter. Kalau waktu itu mereka apatis, mungkin Indonesia gak akan seperti sekarang.
Kesimpulan: Pendidikan dan Politik Harus Jalan Bersama
Kalau pelajar apatis dan cuma fokus belajar tanpa peduli politik, masa depan mereka rawan ditentukan tanpa suara mereka. Padahal, peduli politik gak selalu berarti turun ke jalan — bisa dimulai dari hal kecil seperti:
- Baca berita dengan kritis.
- Ikut organisasi atau diskusi publik.
- Berani bertanya dan bersuara tentang kebijakan yang gak adil.
Itu semua bagian dari tujuan belajar: jadi manusia merdeka, kritis, dan berani memperjuangkan masa depan.
Ingat:
Politik hari ini bakal menentukan hidup kalian besok. Karena itu, perjuangkan masa depan kalian dengan pengetahuan, keberanian, dan suara kalian sendiri.