Penyakit bukan sekadar urusan tubuh, tapi juga keadilan.
Belum lama ini ada kabar yang bikin miris: seorang balita bernama Raya di Sukabumi meninggal karena infeksi cacing yang parah. Sedih banget dengar cerita seperti ini di 2025, tetapi kenyataannya masih terjadi.
Dan Raya bukan satu-satunya. Bisa jadi ada banyak anak lain yang mengalami hal serupa, hanya saja tidak pernah muncul ke berita.
Indonesia memang rawan cacingan: iklim tropis yang hangat dan lembap membuat telur cacing mudah bertahan, sementara di banyak daerah sanitasi masih buruk dan akses air bersih terbatas. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi wilayah endemik tinggi infeksi cacing tanah.
Yang jelas, masalah ini lebih besar daripada sekadar kebiasaan individu. Bagaimana cacing bisa masuk ke tubuh kita, apa dampaknya, dan kenapa urusan cacing bisa nyambung ke isu ketidakadilan sosial? Yuk, kita bahas.
Parasit Selalu Ada dalam Sejarah Manusia
Sejak dulu manusia tidak pernah benar-benar hidup sendirian. Ada organisme lain yang selalu ikut dalam perjalanan peradaban: parasit.
Waktu manusia masih hidup nomaden (hunter-gatherer), parasit sudah ada tetapi dampaknya kecil. Kelompoknya kecil dan sering pindah, jadi rantai penularan mudah putus.
Ketika manusia mulai menetap (revolusi pertanian), populasi menjadi padat, limbah menumpuk, sanitasi minim. Kondisi ini membuat cacing mudah berkembang biak. Revolusi pertanian bukan hanya lahirnya peradaban, tetapi juga masa jaya parasit.
Bukti arkeologi dan catatan medis menunjukkan bahwa masyarakat kuno di Mesir, Roma, Tiongkok, dan India menghadapi penyakit parasit secara luas, meskipun jenis dan tingkat keparahannya berbeda di tiap wilayah.
Cacing sebagai Parasit
Kalau berbicara soal parasit, jenis yang paling sering bikin masalah pada manusia adalah cacing. Dalam biologi, mereka masuk kelompok helminth. Berikut beberapa jenis utamanya:
- Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
- Cacing cambuk (Trichuris trichiura)
- Cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus)
- Cacing pita (Taenia saginata, Taenia solium)
Cacing disebut parasit karena hidup menumpang di tubuh manusia: mencuri nutrisi, membuat luka di usus, bahkan bisa menyebar ke organ lain. Mereka sudah ribuan tahun beradaptasi di tubuh manusia, mampu mengecoh sistem imun sehingga sulit dibasmi tuntas.
Bagaimana Cacing Masuk ke Tubuh?
- Lewat makanan dan minuman: Telur cacing dari tinja bisa menempel di sayur atau air kotor, lalu tertelan jika tidak dicuci atau dimasak dengan bersih.
- Lewat tangan kotor: Anak bermain tanah tercemar, lalu memasukkan tangan ke mulut tanpa dicuci.
- Lewat kulit: Larva cacing tambang bisa menembus kulit, terutama jika berjalan tanpa alas kaki di tanah lembap.
- Lewat daging setengah matang: Larva cacing pita bisa masuk kalau makan daging sapi/babi yang tidak matang.
- Lewat air tawar tercemar: Larva parasit seperti Schistosoma bisa masuk saat orang mencuci atau mandi di sungai kotor.
Akar masalahnya tetap sama: sanitasi yang buruk.
Bagaimana Cara Mencegah Cacingan?
Mencegah cacingan sebenarnya sederhana: minum obat cacing rutin, jaga kebersihan tangan, makan makanan bersih dan matang, serta pakai alas kaki.
Namun kenyataannya, upaya individu saja tidak cukup. Banyak keluarga kesulitan akses air bersih, sanitasi lingkungan buruk, dan toilet tidak layak. Dalam kondisi seperti ini, menjaga kebersihan jadi sulit dilakukan secara konsisten.
Di sinilah pentingnya upaya struktural: pemerintah dan masyarakat perlu menyediakan toilet layak, air bersih, serta program obat cacing massal di sekolah dan puskesmas. Ditambah edukasi publik agar orang paham bahwa cacingan bukan hal sepele.
Pencegahan cacingan harus berjalan dari dua sisi: individu menjaga kebersihan, negara menjamin lingkungan sehat. Kalau salah satunya gagal, siklus cacingan terus berulang, terutama di daerah miskin.
Dampaknya Tidak Cuma Bikin Sakit Perut
Cacingan menyebabkan tubuh kekurangan gizi karena nutrisi makanan diserap duluan oleh cacing. Akibatnya, anak gampang lemas, pucat karena anemia, sering sakit perut atau diare, dan tumbuh kembang terhambat (stunting).
Anak yang sering sakit membuat biaya kesehatan meningkat dan prestasi sekolah menurun. Pada orang dewasa, cacingan menurunkan produktivitas kerja.
Bila banyak anak tumbuh dalam kondisi anemia atau stunting, kualitas SDM secara nasional ikut turun.
Lingkaran Setan Kemiskinan dan Cacingan
Cacingan bukan sekadar penyakit, tetapi faktor biologis yang membuat ketidakadilan terus berulang.
Miskin membuat orang rentan cacingan. Cacingan membuat orang makin miskin karena produktivitas turun.
Kemiskinan → lingkungan buruk → infeksi cacingan → malnutrisi → SDM lemah → kemiskinan berulang.
Siklus ini bisa berlanjut lintas generasi kalau tidak ada intervensi serius (sanitasi, pendidikan, kesehatan).
Parasit Adalah Simbol Ketidakadilan
Parasit tidak menyerang semua orang secara adil. Anak dari keluarga tanpa toilet, sering nyeker, atau minum air kotor jauh lebih rentan.
Itulah sebabnya cacingan bukan hanya akibat kemiskinan, tetapi juga penyebab kemiskinan diwariskan.
Kalau masih ada anak yang meninggal dengan tubuh penuh cacing, berarti sistem kesehatan dan pembangunan gagal menyediakan kebutuhan dasar.
Namun yang ironis: fasilitas canggih seperti smart TV, laptop, dan papan interaktif justru diprioritaskan, sementara sanitasi dan toilet sekolah dikesampingkan.
Muridnya masih cacingan, tetapi kelasnya sudah ada smart TV.
Cermin dari Kondisi Masyarakat
Cacingan sering dianggap penyakit sepele, padahal dampaknya bisa merusak hidup anak sampai ke generasi berikutnya.
Cacing bukan sekadar masalah kesehatan pribadi. Ia adalah cermin dari kondisi masyarakat: siapa yang punya akses air bersih, sanitasi, dan gizi cukup—dan siapa yang tidak.
Kalau hal sederhana seperti obat cacing, sanitasi, dan air bersih masih sulit diakses, kita harus malu menyebut diri sebagai negara besar.
Pembangunan yang dibanggakan belum menyentuh akar terpenting: melindungi generasi dari penyakit yang mestinya sangat mudah dicegah secara medis dan teknis.