Sekarang China bersaing ketat dengan Amerika Serikat di bidang ekonomi dan teknologi. Dari chip sampai mobil listrik, dari baja sampai AI, semua jadi ajang persaingan dua negara paling berpengaruh di dunia. Padahal, China dulu adalah negara yang sangat miskin dan pernah mengalami Great Chinese Famine (1959–1961), salah satu kelaparan terbesar abad ke-20.
Dalam beberapa dekade, China berubah dari ekonomi agraris tertutup menjadi pusat industri dunia dan kekuatan teknologi global. Sementara Indonesia tahun 1950–60-an sudah punya Pertamina, Roket Kartika, dan industri strategis, China pada era itu masih bangkit dari perang saudara, ekonomi hancur, dan masyarakat sangat miskin.
Namun hanya dalam waktu kurang dari 50 tahun, China menjalankan transformasi ekonomi paling fenomenal dalam sejarah modern manusia.
Warisan Era Mao: Kondisi China Dulu
Sebelum 1978, China di bawah Mao Zedong adalah negara sangat tertutup dan seluruh aspek kehidupan diatur negara. Tanah adalah milik negara, petani bekerja kolektif, dan hasil dibagi rata. Karena tidak ada insentif individu, produktivitas pertanian anjlok.
Diperkirakan 14–45 juta orang meninggal akibat kelaparan massal saat Great Leap Forward. Kebijakan ekonomi lebih fokus pada industri berat seperti baja, tanpa mempertimbangkan kebutuhan pasar.
Mao berhasil menyatukan China setelah masa perang dan kolonialisme. Namun warisannya juga kelam: kelaparan besar, represi politik, dan ekonomi sangat tidak efisien.
Arsitek Kebangkitan Ekonomi China: Deng Xiaoping
Setelah Mao, kekuasaan berpindah ke Deng Xiaoping. Prinsipnya terkenal:
"Tidak penting kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus."
Artinya sederhana: tidak peduli kapitalis atau sosialis, yang penting rakyat makmur dan negara tumbuh.
1. Reformasi di Sektor Pertanian
Petani tetap tidak memiliki tanah, tetapi boleh mengelola sendiri dan menjual kelebihan hasil panen. Hasilnya langsung naik drastis.
2. Reformasi Industri dan Non-Pertanian
Setelah pertanian sukses, reformasi diperluas ke sektor lain seperti BUMN, UMKM, dan industri swasta.
3. Ekspansi Perdagangan Luar Negeri
Investasi asing mengalir deras dan ekspor China meroket.
Sektor Swasta Mulai Tumbuh
Setelah pertanian dibuka, warga mulai berani membuka usaha seperti toko, bengkel, warung, dan pabrik rumahan. Padahal status hukumnya masih abu-abu.
Deng membiarkan usaha semi-legal ini berkembang selama tidak mengganggu stabilitas. Prinsip reformasinya:
- Jika berhasil → diperluas
- Jika gagal → dianggap eksperimen lokal
Hasilnya luar biasa: lapangan kerja melonjak, pendapatan rumah tangga naik, dan kelas menengah urban mulai muncul.
Reformasi BUMN dan Munculnya Pasar Modal
Di era Mao, seluruh industri adalah BUMN dan sangat tidak efisien. Reformasi membuat BUMN lebih mandiri: boleh mengatur manajemen, menyimpan untung, dan menentukan harga.
China juga mendirikan Bursa Saham Shanghai (1990) dan Shenzhen (1991). Kapitalisme dipakai, tetapi partai tetap memegang kendali penuh.
Investasi Asing Masuk Besar-Besaran
Tahun 1980-an, negara Barat dan Jepang mencari tempat produksi murah. China memberi solusi: tenaga kerja murah, tanah luas, dan regulasi fleksibel.
China membuat Zona Ekonomi Khusus (ZEK) seperti Shenzhen, Zhuhai, Xiamen, dan Shantou.
Investasi asing tidak hanya membawa modal, tetapi juga teknologi dan pelatihan SDM.
Urbanisasi dan Migrasi Tenaga Kerja
Sebelum 1978, 80% rakyat China tinggal di desa. Urbanisasi dilakukan secara terencana: membangun kota baru, infrastruktur besar-besaran, dan memindahkan tenaga kerja ke industri.
Shenzhen yang dulunya kampung nelayan berubah menjadi kota industri modern hanya dalam beberapa dekade.
Pada 1980 hanya 19% penduduk tinggal di kota. Tahun 2023 sudah >65%.
Ekspor: Mesin Pertumbuhan Ekonomi
Ekspor awalnya berupa tekstil, sepatu, mainan, lalu berkembang menjadi elektronik, panel surya, drone, chip, dan mobil listrik.
- PDB naik drastis
- Perusahaan domestik menjadi pemasok global
- Cadangan devisa menembus US$3 triliun
- China semakin ketergantungan ekspor
Pelajaran Besar dari Transformasi China
Deng Xiaoping tidak mencari revolusi instan. Ia memilih reformasi bertahap tetapi konsisten.
Tidak semua kemajuan butuh revolusi keras. Terkadang cukup berjalan pelan tapi pasti—seperti “menyebrang sungai sambil meraba batu”.
Namun, keberhasilan China juga datang dengan harga: masalah buruh, lingkungan, kebebasan berpendapat, dan ketimpangan.
Kesimpulan: Indonesia Tidak Harus Jadi China
Tidak ada resep yang sama untuk setiap negara. Tetapi satu hal pasti: negara tidak akan maju jika hanya diam di tempat.
Reformasi harus jelas, konsisten, dan berani meninggalkan sistem lama yang tidak relevan.
China adalah contoh nyata negara yang dulu miskin sekarang kaya berkat visi panjang, kesabaran, dan konsistensi.