Ramai Beli iPhone dan Tiket Konser, Bukti Ekonomi Indonesia Kuat? Ini Faktanya

2025-11-20 14:23:38 | Aji Hardiansyah

analisis kondisi daya beli masyarakat dan fenomena antre beli iPhone

Akhir-akhir ini kita sering lihat antrean panjang pembelian iPhone terbaru, tiket konser yang harganya jutaan ludes dalam hitungan menit, café penuh, dan pusat perbelanjaan ramai. Tapi di sisi lain, berita dipenuhi keluhan soal harga kebutuhan pokok yang naik, PHK, menurunnya aktivitas industri, dan banyak keluarga yang makin sulit bertahan hidup.

Lalu muncul pertanyaan besar: apakah kondisi daya beli masyarakat benar-benar membaik, atau hanya terlihat seperti itu?

Apa Benar Ramai Beli Barang Mahal Tandanya Ekonomi Kuat?

Fenomena antre iPhone dan konser memang terlihat seperti tanda daya beli yang baik. Namun faktanya tidak sesederhana itu. Untuk memahami kondisi sebenarnya, kita perlu melihat konsep disposable income.

Apa Itu Disposable Income?

Disposable income adalah uang yang tersisa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, seperti:

  • Makan dan kebutuhan harian
  • Sewa rumah atau cicilan
  • Transportasi
  • Tagihan wajib (listrik, air, internet)

Kalau setelah semua itu masih ada sisa uang, barulah seseorang bisa membeli hal-hal non-esensial seperti:

  • Upgrade HP
  • Beli tiket konser
  • Kopi mahal
  • Fashion & lifestyle

Artinya, yang memborong iPhone atau tiket konser itu bukan seluruh masyarakat—melainkan kelompok yang punya disposable income. Itu pun bukan berarti mereka kaya, hanya saja kebutuhan pokok mereka sudah aman.

Struktur Ekonomi Indonesia: Siapa yang Benar-Benar Bisa Belanja?

Berdasarkan data ekonomi, lapisan masyarakat Indonesia dapat dibagi sebagai berikut:

1. Miskin — 9,03%

Pengeluaran di bawah garis kemiskinan.

2. Rentan Miskin — 24,23%

Hanya 1–1,5 kali di atas garis kemiskinan, sangat rentan jatuh miskin.

3. Menuju Kelas Menengah — 49,22%

Bisa memenuhi kebutuhan dasar, tapi sisa uang sangat terbatas.

4. Kelas Menengah — 17,13%

Bisa menabung, berinvestasi, dan konsumsi tanpa mengorbankan kebutuhan penting.

5. Kelas Atas — 0,38%

Daya beli sangat tinggi dan tidak terganggu fluktuasi ekonomi.

Total masyarakat miskin + rentan miskin mencapai 33,26%. Artinya 1 dari 3 orang Indonesia hidup dalam kondisi ekonomi rawan.

Jadi, tidak semua orang merasakan kemudahan beli barang mahal. Hanya sebagian kecil yang menikmati ruang konsumsi lebih lapang.

Pertumbuhan Ekonomi vs Ketimpangan Pendapatan

Indonesia tumbuh sekitar 5% per tahun—baik secara makro. Tapi pertanyaannya:

pertumbuhan ini dinikmati siapa?

Jika hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, maka yang terjadi adalah ketimpangan pendapatan. Indikator ketimpangan Indonesia terus naik dari tahun ke tahun, bahkan termasuk tertinggi di Asia Tenggara.

Artinya: ekonomi tumbuh, tapi tidak merata. Ada yang belanja iPhone, ada yang berjuang untuk makan.

Perubahan Perilaku Konsumen: Beli Karena Perlu atau Karena Identitas?

Di era sekarang, banyak orang membeli bukan karena butuh, melainkan karena nilai emosional dan identitas sosial.

1. Fungsi simbolik

IPhone bukan sekadar HP, tapi simbol status.

2. Prioritas pada pengalaman

Konser, event, dan travelling dianggap lebih penting daripada barang fisik.

3. Self-reward dan coping stress

Mahal tapi merasa layak: “Gue deserve ini.”

Kredit, Cicilan, dan Paylater: Ini Duit Siapa?

Banyak pembelian barang mahal tidak dilakukan pakai uang tunai.

  • Paylater
  • Kartu kredit
  • Cicilan 0%

Masalahnya:

  • Muncul ilusi daya beli
  • Belanja impulsif meningkat
  • Orang membeli bukan karena mampu, tapi karena akses kredit mudah

Akibatnya terlihat seperti daya beli kuat, padahal banyak yang hanya memindahkan beban ke masa depan.

Marketing, FOMO, dan Hype Economy

Banyak pembelian murni digerakkan oleh FOMO (Fear of Missing Out).

  • Produk dikemas dengan cerita dan eksklusivitas
  • Influencer mendorong hype
  • Media sosial memperkuat tekanan sosial

Banyak beli karena takut ketinggalan tren, bukan karena mampu.

Jadi, Ekonomi Kita Sebenarnya Baik atau Tidak?

Kenyataannya: kondisi daya beli masyarakat tidak seragam.

  • Ada yang punya disposable income dan bisa belanja
  • Ada yang hidup dalam tekanan ekonomi sehari-hari
  • Ada yang terlihat mampu tapi sebenarnya bergantung pada kredit

Fenomena antrean iPhone bukan cermin sempurna kondisi ekonomi. Itu hanya menunjukkan perilaku konsumsi sebagian kecil populasi.

Kesimpulan: Ayo Lihat Ekonomi Lebih Dalam

Kita perlu berhenti melihat antrean konser atau penuhnya mall sebagai bukti kemakmuran. Yang harus dilihat adalah:

  • Siapa yang mampu beli?
  • Siapa yang kesulitan?
  • Kenapa kesenjangan terjadi?

Ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih sehat jika distribusi peluang lebih merata. Bukan hanya sebagian kecil yang menikmati ruang konsumsi, tapi seluruh masyarakat dapat memiliki keamanan finansial yang lebih baik.