Laba Gudang Garam Anjlok 87% dan PHK Massal Ribuan Buruh: Kebijakan Cukai Dipertanyakan

2025-09-08 | Aji Hardiansah

Krisis Gudang Garam PHK Massal 2025

Industri rokok Indonesia kembali diguncang kabar mengejutkan. PT Gudang Garam Tbk, salah satu produsen rokok terbesar di tanah air, melaporkan penurunan tajam kinerja keuangan pada semester I 2025 sekaligus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ribuan buruhnya.

Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2025, perusahaan hanya mampu membukukan laba bersih Rp120,2 miliar, anjlok hingga 87 persen dibanding Rp925,5 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Anjloknya laba ini terutama disebabkan oleh turunnya pendapatan, tingginya biaya produksi, serta beban utang yang semakin besar.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Pertanyaan besar pun muncul: mengapa perusahaan sebesar Gudang Garam bisa terpukul begitu dalam? Apakah salah manajemen internal, atau ada faktor eksternal yang lebih besar? Dari sisi ekonomi makro, ada sejumlah faktor yang diyakini berkontribusi langsung:

  • Daya beli masyarakat melemah hampir dua tahun terakhir akibat inflasi dan perlambatan ekonomi.
  • Kenaikan cukai rokok tiap tahun membuat harga rokok resmi semakin tidak terjangkau.
  • Maraknya rokok ilegal tanpa cukai yang beredar di pasar dengan harga jauh lebih murah.

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan tekanan ganda: penjualan resmi menurun, laba merosot, sementara beban biaya tetap tinggi. Gudang Garam akhirnya tidak mampu menahan beban, dan keputusan pahit berupa PHK massal pun diambil.

Dampak Sosial dan Efek Domino

PHK massal ribuan buruh bukan sekadar angka statistik. Lebih dari 30 ribu pekerja di lingkungan Gudang Garam terancam kehilangan mata pencaharian. Efek domino pun menghantam petani tembakau, buruh linting, sopir logistik, pedagang kecil, hingga pemilik kontrakan di sekitar pabrik.

Jika dibiarkan, gelombang PHK besar-besaran ini bisa memperdalam krisis sosial-ekonomi, terutama di daerah basis industri rokok seperti Kediri dan sekitarnya.

Rokok Ilegal: Ancaman Nyata

Salah satu masalah paling serius adalah maraknya rokok ilegal. Produk tanpa pita cukai itu dijual bebas di warung-warung kecil dengan harga setengah dari rokok resmi. Konsumen pun dengan mudah beralih karena faktor harga.

Ironisnya, meski pemerintah mengklaim melakukan penindakan, faktanya rokok ilegal masih mudah ditemukan. Banyak warga mempertanyakan mengapa aparat hanya bergerak setelah ada laporan masyarakat, bukan melalui inisiatif penyisiran aktif. Padahal, spanduk-spanduk bertuliskan Siap Melayani Masyarakat terpampang di kantor-kantor pemerintahan, namun realitanya penindakan terasa setengah hati.

Pemerintah atau Pengusaha, Siapa yang Bersalah?

Perdebatan muncul: apakah krisis Gudang Garam murni salah manajemen perusahaan, atau akibat kebijakan pemerintah? Beberapa pihak menilai kenaikan cukai rokok yang terus-menerus tanpa strategi pengendalian rokok ilegal justru menjerat perusahaan resmi.

Pemerintah beralasan bahwa cukai adalah sumber pemasukan negara. Namun ketika kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang tegas terhadap rokok ilegal, dampaknya justru merugikan industri resmi dan para pekerja.

Suara dari Akar Rumput

"Giliran pemasukan negara dari cukai selalu jadi prioritas, tapi giliran buruh kehilangan pekerjaan, siapa yang peduli?"

Pandangan ini banyak disuarakan masyarakat, khususnya buruh dan petani tembakau. Mereka menilai bahwa pemerintah terlalu fokus mengejar pendapatan dari cukai, tanpa memikirkan keberlanjutan industri dan nasib pekerja.

Potret Rapuhnya Daya Beli dan Kebijakan Ekonomi

Kasus Gudang Garam bukan sekadar cerita jatuhnya sebuah perusahaan, melainkan cermin rapuhnya daya beli rakyat dan kebijakan ekonomi yang timpang. Ketika harga rokok resmi naik, konsumen beralih ke produk lebih murah — baik dari merek legal kelas bawah maupun rokok ilegal. Alhasil, penurunan daya beli tidak berarti masyarakat berhenti merokok, melainkan hanya berpindah ke produk lebih murah.

Solusi yang Diharapkan

  1. Pemerintah meninjau ulang kebijakan kenaikan cukai agar tidak membunuh industri resmi.
  2. Penegakan hukum serius terhadap rokok ilegal dengan patroli aktif, bukan menunggu laporan warga.
  3. Transparansi dan komunikasi yang lebih baik antara pemerintah, industri, dan masyarakat.
  4. Penyediaan program jaring pengaman sosial untuk buruh terdampak PHK massal.

Tanpa langkah nyata, krisis ini bisa meluas. Bukan hanya Gudang Garam yang terancam, tapi juga ribuan keluarga yang bergantung pada industri rokok. Kebijakan fiskal yang hanya mengedepankan pemasukan negara tanpa memperhitungkan efek sosial berpotensi menciptakan masalah jangka panjang.

Kesimpulan

Anjloknya laba Gudang Garam hingga 87 persen dan PHK massal ribuan buruh adalah alarm keras bagi pemerintah dan pelaku industri. Pertanyaan pentingnya: apakah pemerintah lebih peduli pada pemasukan negara dari cukai, atau pada keberlangsungan hidup rakyatnya?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan industri rokok di Indonesia, sekaligus menjadi tolok ukur keadilan dalam kebijakan ekonomi nasional.

"Negara kuat bukan hanya dari pajak yang besar, tapi dari rakyat yang bekerja dan hidup sejahtera."