Integritas, Meritokrasi, dan Budaya Koneksi di Indonesia
Menurut Anies Baswedan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini dinilai semakin menjauh dari prinsip integritas dan meritokrasi. Dalam Dialog Kebangsaan di Semarang, Rabu (8/10/2025), Anies menyoroti praktik transaksional di birokrasi dan politik yang membuat jabatan publik lebih sering diberikan berdasarkan koneksi ketimbang kompetensi.
Anies menilai bahwa sistem pemerintahan saat ini lebih berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek daripada profesionalisme dan kualitas sumber daya manusia. Ia menekankan bahwa keteladanan dan moralitas publik harus dimulai dari pejabat tinggi agar kebijakan benar-benar mencerminkan keadilan dan integritas.
Menurut Pendapat Saya: Lemahnya Pengawasan dan Tata Kelola Pemerintahan
Dari sudut pandang saya, kritik yang disampaikan Anies menyentuh akar persoalan penting — lemahnya pengawasan ekonomi nasional serta buruknya tata kelola pemerintahan. Sekitar seperempat aktivitas ekonomi Indonesia masih tergolong underground economy atau ekonomi bawah tanah yang tidak tercatat secara resmi. Akibatnya, potensi pajak besar hilang dan negara kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan transparan.
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi akar masalah yang harus segera diperbaiki. Tanpa reformasi sistemik, mustahil bagi Indonesia untuk keluar dari lingkaran ketidakadilan ekonomi yang berkepanjangan.
Budaya “Orang Dalam” yang Mengakar
Budaya pemberian jabatan berdasarkan koneksi sudah menjadi tradisi lama, bahkan diwariskan dari masa ke masa. Fenomena “orang dalam” ini tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan, tetapi juga di dunia kerja dan sektor swasta.
Banyak perusahaan masih lebih memilih merekrut karyawan berdasarkan kedekatan atau koneksi pribadi, bukan kompetensi dan kemampuan profesional. Berdasarkan berbagai survei, hingga 80% masyarakat Indonesia mendapatkan pekerjaan melalui koneksi, bukan melalui seleksi berbasis kemampuan.
Dampak Budaya Koneksi terhadap Dunia Kerja
Budaya seperti ini menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2025. Ketika koneksi lebih diutamakan dibanding kemampuan, maka inovasi akan sulit tumbuh. Perusahaan yang tidak dikelola oleh orang-orang kompeten akan kesulitan bersaing, baik di dalam negeri maupun di pasar global.
- Produktivitas menurun karena rendahnya kompetensi.
- Daya saing nasional melemah di pasar global.
- Peluang inovasi terhambat oleh dominasi hubungan pribadi.
Tidak hanya di sektor bisnis, bahkan dunia pendidikan pun ikut terdampak. Sebagian tenaga pendidik masih dipilih berdasarkan kedekatan, bukan kemampuan mengajar. Akibatnya, kualitas pendidikan sulit meningkat secara merata di seluruh Indonesia.
Akar Sejarah dan Pola Turun-Temurun
Budaya koneksi ini sudah terbentuk sejak zaman kerajaan, di mana jabatan penting sering diberikan kepada keluarga atau kerabat dekat penguasa. Pola turun-temurun ini terus terbawa hingga kini, menjadi bagian dari sistem sosial dan politik kita.
Dampaknya, masyarakat yang sebenarnya kompeten sering tersingkir, sementara yang punya koneksi justru mendapatkan posisi strategis tanpa proses yang adil. Ketimpangan sosial pun semakin lebar — yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin terpinggirkan.
Menumbuhkan Meritokrasi dan Integritas
Untuk memperbaiki kondisi ini, Indonesia membutuhkan keberanian moral untuk memutus rantai budaya koneksi. Pejabat publik, pemimpin perusahaan, dan tenaga pendidik harus mulai menempatkan orang berdasarkan kemampuan, bukan hubungan pribadi.
- Integritas dan profesionalisme harus menjadi nilai utama.
- Rekrutmen dilakukan secara transparan dan objektif.
- Pemimpin wajib memberi teladan dalam menerapkan meritokrasi.
Perubahan tidak akan terjadi tanpa keberanian moral dari pemimpin di semua level untuk menolak praktik tidak adil. Dengan sistem yang bersih dan berbasis kemampuan, Indonesia bisa melahirkan generasi baru yang lebih kompeten, jujur, dan berdaya saing tinggi.
Kesimpulan
Kritik Anies Baswedan seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa persoalan meritokrasi dan budaya koneksi bukan sekadar masalah politik, tetapi persoalan sistemik yang menghambat kemajuan bangsa. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama untuk maju berdasarkan kemampuan dan kerja keras, bukan karena koneksi atau kedekatan pribadi.
Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tapi langkah pertama adalah mengakui bahwa budaya “orang dalam” adalah penghambat besar kemajuan. Dengan integritas, moralitas publik, dan komitmen terhadap meritokrasi, Indonesia masih punya peluang besar untuk bangkit dan menciptakan sistem pemerintahan serta dunia kerja yang lebih adil, transparan, dan profesional.
“Integritas, moralitas publik, dan keberanian menolak budaya koneksi adalah kunci agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang adil dan berdaya saing.”