Pemerintah mencatat sebanyak 15.876 peserta dari 1.668 perusahaan ikut dalam Program Magang Nasional berbayar yang baru diluncurkan. Mayoritas posisi yang ditawarkan berada di bidang operasional dan sales, dengan wilayah terbanyak di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, mengatakan bahwa program baru ini memberikan uang saku Rp3,3 juta per bulan selama enam bulan bagi para lulusan baru. Program ini diharapkan dapat memberikan pengalaman kerja sekaligus membuka jalan menuju dunia profesional.
Sales Jadi Posisi Terbanyak, Kenapa?
Pertanyaannya, kenapa posisi sales justru yang paling banyak dibuka? Jawabannya cukup sederhana: di dunia kerja, sales adalah tombak utama dari sebuah perusahaan. Hampir semua sektor bisnis berfokus pada peningkatan penjualan karena di situlah titik hidup dan matinya sebuah perusahaan.
Saat ini, persaingan antar perusahaan sangat ketat. Produk-produk asing sudah merajalela di Indonesia dan bersaing dengan produk lokal. Karena itu, perusahaan berusaha memaksimalkan tenaga kerja magang di bidang sales untuk memperluas pangsa pasar mereka. Padahal, di sisi lain, banyak lowongan pekerjaan yang sebenarnya masih tersedia, namun pihak perusahaan memilih memanfaatkan program magang agar bisa menekan biaya tenaga kerja.
Gaji dan Kinerja: Antara Realita dan Harapan
Banyak peserta magang yang berharap mendapatkan pengalaman berharga dan kompensasi layak. Namun, realitanya, gaji sales atau digital marketing sering kali tidak sebanding dengan beban kerja. Untuk bisa naik gaji atau diterima jadi karyawan tetap, para peserta harus benar-benar berjuang keras meningkatkan penjualan dan pangsa pasar perusahaan.
Hal ini membuat banyak pihak menilai bahwa posisi magang di bidang sales lebih menguntungkan perusahaan dibanding peserta. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, perusahaan bisa dengan mudah mengganti tenaga magang tanpa tanggung jawab jangka panjang terhadap kesejahteraan mereka.
Digital Marketing: Ujung Tombak Baru Dunia Kerja
Di era digital seperti sekarang, profesi digital marketing dan sales menjadi dua hal yang saling terkait. Keduanya menjadi ujung tombak utama dalam memperluas pasar dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Perusahaan membutuhkan anak muda yang paham teknologi dan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Namun, yang perlu digarisbawahi, banyak perusahaan memanfaatkan semangat dan kreativitas anak muda tanpa memberikan apresiasi yang sepadan. Program magang memang memberi kesempatan belajar, tetapi ketika mayoritas peserta hanya ditempatkan sebagai sales dengan target tinggi, hal ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini benar-benar program pembelajaran atau sekadar cara baru memanfaatkan tenaga kerja murah?
Magang atau Pekerja Terselubung?
Banyak peserta magang merasa bahwa pekerjaan mereka tidak jauh berbeda dengan karyawan tetap. Mereka ikut rapat, melakukan pemasaran, bahkan membawa target penjualan yang cukup berat. Bedanya, mereka tidak mendapat jaminan kerja setelah masa magang berakhir. Inilah yang membuat banyak kalangan menilai program ini perlu dievaluasi secara serius.
Seharusnya, jika peserta magang menunjukkan kinerja baik selama enam bulan, perusahaan memberikan kesempatan untuk direkrut sebagai karyawan tetap. Hal ini tidak hanya memberikan motivasi, tapi juga menunjukkan penghargaan terhadap usaha para peserta.
Magang untuk Siapa?
Program magang seharusnya ditujukan untuk mahasiswa yang masih berkuliah agar mereka mendapatkan pengalaman sebelum lulus. Namun, dalam program ini, peserta justru adalah para lulusan sarjana yang sudah siap kerja. Banyak dari mereka bahkan sudah pernah mengikuti magang semasa kuliah. Jadi, muncul pertanyaan: kenapa harus magang lagi, bukan langsung bekerja?
Kalau pemerintah memang serius ingin membuka 19 juta lapangan kerja seperti yang dijanjikan, maka seharusnya para lulusan baru diberi kesempatan langsung bekerja, bukan terus didorong untuk magang. Sebab magang hanya bersifat sementara, sedangkan kebutuhan hidup bersifat permanen.
Meski begitu, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa magang di bidang sales memberikan banyak pelajaran berharga. Di lapangan, peserta bisa belajar langsung bagaimana menghadapi pelanggan, memahami strategi penjualan, hingga mempelajari proses bisnis dari hulu ke hilir. Pengalaman ini bisa menjadi bekal penting untuk membangun karier ke depan atau bahkan membuka usaha sendiri.
Banyak peserta magang yang mengaku belajar banyak tentang komunikasi, negosiasi, dan mental pantang menyerah. Namun tetap saja, ada perasaan bahwa tenaga dan waktu mereka dimanfaatkan untuk mendukung keuntungan perusahaan tanpa kepastian karier jangka panjang.
Program Magang Nasional sebenarnya memiliki niat baik: memberikan pengalaman kerja kepada para lulusan baru. Tapi ketika mayoritas posisi yang dibuka hanyalah sales, dan peserta harus bekerja keras mengejar target tanpa jaminan masa depan, program ini bisa berubah arah menjadi bentuk eksploitasi terselubung.
Pemerintah perlu memastikan agar program ini benar-benar menjadi jembatan menuju pekerjaan tetap, bukan hanya menjadi sarana perusahaan mencari tenaga kerja murah. Para peserta magang pun harus mendapatkan pembimbingan yang sesuai agar mereka tidak sekadar menjadi alat pemasaran, tapi juga memperoleh keterampilan nyata yang bisa diterapkan di dunia kerja.
Magang memang penting untuk belajar, tapi sistemnya harus adil dan transparan. Jika tidak, maka semangat “menyiapkan generasi muda siap kerja” hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
“Magang seharusnya menjadi jembatan menuju pekerjaan, bukan jalan memutar yang membuat generasi muda terus menunggu kesempatan yang tak kunjung datang.”