Erick Thohir memang dinilai terlalu fokus terhadap pengembangan pemain timnas, namun melupakan satu hal mendasar: kualitas dan struktur liga domestik, terutama Liga 1 Indonesia, yang justru menjadi fondasi utama dalam pembentukan tim nasional yang tangguh. Kita tidak bisa membicarakan kemajuan timnas tanpa membenahi kompetisi lokal terlebih dahulu.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat sepak bola Indonesia menyaksikan berbagai kejanggalan di Liga 1. Dari jadwal yang kacau, kualitas wasit yang meragukan, hingga manajemen klub yang tidak profesional. Bahkan, menurut laporan terbaru, Liga Indonesia hanya menempati peringkat ke-22 di Asia — bahkan di bawah Liga Malaysia dan Liga Kamboja. Ini bukan hanya masalah peringkat, tapi cermin nyata dari amburadulnya sistem kompetisi kita.
Yang jadi pertanyaan: jika timnas dibentuk dari pemain yang berasal dari liga yang tidak sehat, bagaimana bisa timnas diharapkan tampil konsisten di level internasional? Bukankah seharusnya pembangunan sepak bola Indonesia dimulai dari akar rumput, bukan hanya di pucuk?
Banyak pengamat dan masyarakat sepakat bahwa apa yang dilakukan Erick Thohir dan federasi saat ini terlihat lebih seperti membangun citra popularitas ketimbang sistem yang berkelanjutan. Sekilas terlihat bahwa mereka sedang membangun sepak bola Indonesia, tetapi sebenarnya yang dibangun adalah pencitraan publik — agar terlihat bekerja, agar terlihat sukses di mata internasional. Namun, untuk siapa pembangunan ini? Untuk pemain? Untuk masyarakat? Atau untuk kepentingan politik dan personal?
Namun, di sisi lain, Ketua Umum PSSI Erick Thohir kembali menegaskan bahwa prioritas utama PSSI saat ini adalah membangun tim nasional, sejalan dengan arahan dari FIFA. Menurutnya, timnas adalah wajah sepak bola Indonesia di mata dunia, dan performa mereka menjadi tolok ukur utama reputasi Indonesia di kancah internasional.
Meski begitu, bukan berarti kompetisi lokal diabaikan. Erick juga menekankan pentingnya kolaborasi antara federasi dan penyelenggara liga, dalam hal ini PT LIB, untuk saling menguatkan. Ia menyebut bahwa pembangunan timnas dan penguatan liga harus berjalan beriringan — tidak bisa berdiri sendiri. Federasi dan liga harus bersinergi demi masa depan sepak bola nasional yang lebih baik, ujarnya dalam sebuah konferensi pers.
Tidak bisa dimungkiri, timnas yang kini diisi banyak pemain diaspora memang menarik untuk ditonton. Permainan lebih rapi, visi bermain lebih matang, dan tentunya lebih kompetitif. Tapi, di balik itu, di mana ruang untuk pemain muda lokal? Seperti yang disampaikan jurnalis sepak bola Bung Joy dalam diskusi di TV One: selama 10 tahun terakhir belum ada sistem pembinaan pemain muda lokal yang betul-betul difasilitasi. Bahkan menurutnya, talenta lokal semakin hari semakin terpinggirkan.
Ironisnya, saat ini klub-klub Liga 1 justru menambah kuota pemain asing. Tidak ada yang salah dari sisi kompetitif, bahkan justru bisa membuat liga lebih menarik. Tapi pertanyaannya: apakah hal ini berdampak positif bagi perkembangan pemain lokal? Atau justru membuat mereka semakin kehilangan tempat dan kepercayaan diri?
Semakin banyak pemain asing, semakin kecil pula kesempatan pemain muda Indonesia tampil. Di saat yang sama, tidak ada fasilitas yang mendukung perkembangan pemain lokal — akademi yang mahal, infrastruktur yang buruk, dan ketimpangan akses seleksi. Dalam banyak kasus, proses seleksi pemain muda masih sarat dengan nepotisme. Mereka yang punya orang dalam lebih mudah masuk. Sistem seperti ini sudah terjadi sejak lama, dan sampai sekarang belum berubah.
Lalu bagaimana mungkin kita berharap sepak bola Indonesia bisa mendunia? Bahkan untuk sekadar mengirim pemain ke Eropa saja masih sulit. Kalaupun ada yang bermain di luar negeri, biasanya mereka adalah pemain diaspora atau pemain yang sejak kecil dibina di luar negeri — bukan hasil murni dari sistem sepak bola Indonesia.
Situasi ini menyedihkan. Sepak bola seharusnya menjadi ruang publik yang terbuka, membina dari bawah, dan menjadi jalan bagi anak-anak muda di berbagai daerah untuk bermimpi. Tapi kenyataannya, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Sepak bola kita lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat pencitraan. Nama Indonesia memang terdengar di dunia internasional, tetapi proses di dalam negeri masih penuh kekacauan.
Ketika timnas masuk ke turnamen besar, semua orang bangga. Penonton membludak, media ramai memberitakan, bahkan politisi ikut bersorak. Tapi apakah itu benar-benar menunjukkan kemajuan? Atau hanya kepuasan sesaat demi headline media? Kita semua ingin timnas masuk Piala Dunia, tetapi apakah itu dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan sehat?
Jika pembangunan sepak bola hanya digunakan untuk menyenangkan masyarakat dan meraup popularitas pribadi, maka jangan heran jika kita akan kembali terjebak dalam lingkaran stagnasi. Sukses hanya menjadi momen sesaat, bukan fondasi masa depan.
Yang harus dilakukan adalah membangun sistem dari dasar. PSSI dan PT LIB harus fokus pada pembinaan usia dini, memperbaiki sistem kompetisi, mendukung klub-klub kecil agar bisa mencetak pemain berkualitas, dan memastikan akses seleksi terbuka bagi semua. Jangan hanya mengejar benefit jangka pendek dari sponsor dan pencapaian timnas.
Sepak bola tidak akan berkembang jika hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau politik. Sepak bola seharusnya jadi alat pemersatu bangsa, bukan panggung pencitraan elit.
Jadi, tolong perhatikan ini dengan serius. Jangan hanya membangun nama Indonesia di luar negeri, tetapi bangunlah juga sistem yang kuat di dalam negeri. Jadikan pemain lokal sebagai prioritas. Berikan mereka panggung, bukan hanya tempat duduk di bangku cadangan. Karena tanpa mereka, sepak bola Indonesia tidak akan pernah benar-benar maju.
“Pembangunan sepak bola sejati bukan tentang seberapa sering timnas menang, tapi seberapa kuat sistem yang menopang semua kemenangan itu.”