Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama media Korea Selatan, Yonhap News, pelatih Timnas Vietnam Kim Sang-sik menyampaikan pendapat yang cukup mengejutkan. Ia mengaku bahwa kepergian Shin Tae-yong dari kursi kepelatihan Timnas Indonesia justru menjadi keuntungan baginya. Kepergian dia malah jadi keberuntungan buat saya, tapi saya berharap dia sukses dengan karier barunya di Korea Selatan, ungkap Kim.
Pernyataan tersebut memunculkan kembali diskusi panjang tentang arah dan fondasi sepak bola Indonesia. Banyak pihak merasa bahwa pemecatan Shin Tae-yong bukan semata karena ketidakmampuannya, melainkan mungkin bagian dari dinamika politik sepak bola nasional — di mana popularitas dan pencitraan publik menjadi agenda tersembunyi. “Sah-sah saja mereka mencari popularitas,” kata salah satu pengamat. “Toh mereka juga butuh benefit, masa kerja keras ngurus sepak bola tanpa imbalan?”
Namun yang patut dipertanyakan: apakah pembangunan yang dilakukan benar-benar tulus, atau hanya sekadar narasi untuk kepentingan politik dan popularitas semata? Karena jika kita bicara soal hasil nyata, selama lima tahun terakhir belum ada satu pun trofi yang berhasil dipersembahkan. Meski menghadirkan pemain diaspora dan menembus beberapa turnamen besar, prestasi tetap minim.
Bahkan, pelatih kawakan Rahmad Darmawan pun pernah menyatakan bahwa mengandalkan pemain diaspora semata tidak akan cukup. “Jangankan Shin Tae-yong, Jose Mourinho pun akan kewalahan,” ujarnya. Pemain diaspora memang punya kualitas, namun membangun tim nasional butuh lebih dari itu — butuh sistem, dukungan infrastruktur, dan kompetisi lokal yang sehat.
Ironisnya, publik terlalu cepat menuntut hasil. Ekspektasi masyarakat kadang tidak realistis: ingin prestasi instan, tapi enggan memberi waktu untuk proses. Padahal, seperti yang dikatakan oleh banyak pelatih legendaris, membangun tim kuat tidak seperti membalikkan telapak tangan.
Di sisi lain, harus diakui bahwa era Shin Tae-yong membawa banyak kemajuan dalam hal pengembangan pemain muda lokal. Banyak pemain yang sebelumnya tidak terdengar kini bersinar, dan itu hasil dari metode kepelatihan yang disiplin serta fokus pada pembinaan usia dini. Beberapa pemain bahkan tampil gemilang di turnamen regional, membuat masyarakat kembali percaya pada talenta lokal.
Tapi sayangnya, sistem di bawahnya belum mendukung. Akademi masih mahal, infrastruktur buruk, dan proses seleksi masih rawan nepotisme. Tidak sedikit cerita tentang pemain muda yang punya talenta besar tapi gagal masuk seleksi karena tidak punya “orang dalam.” Pertanyaannya: bagaimana kita bisa maju jika bakat-bakat seperti ini terus tersingkir?
Kita juga harus jujur. Apakah para pemain lokal memang malas atau justru PSSI tidak memfasilitasi perkembangan mereka dengan baik? Tidak adil jika hanya menyalahkan pemain. Dari generasi ke generasi, banyak pemain yang kerja keras, tapi jika tidak ada sistem yang menopang — semua kerja keras itu jadi sia-sia.
Banyak juga yang menilai keberadaan pemain diaspora sebagai solusi sementara. Mereka memang menunjukkan rasa cinta tanah air dengan membela Indonesia, dan itu patut diapresiasi. Tapi jika sistem lokal tetap tidak dibenahi, maka ketergantungan pada diaspora akan terus terjadi. Sejatinya, membangun dari dalam jauh lebih berkelanjutan.
Seandainya Shin Tae-yong masih bertahan, besar kemungkinan Indonesia bisa terus berkembang, terutama dalam pengembangan pemain muda. Ia dikenal sebagai pelatih yang tegas, visioner, dan peduli pada pembinaan. Sayangnya, tekanan dari luar terlalu besar. Banyak yang lupa bahwa membangun tim nasional yang kuat bukan soal menang hari ini, tapi soal menciptakan fondasi untuk besok.
Apalagi dalam iklim sepak bola Indonesia yang penuh tekanan — baik dari media, politisi, maupun federasi — ruang gerak pelatih sering kali terbatas. Dan pada akhirnya, semua kembali pada satu pertanyaan: siapa yang sebenarnya ingin membangun sepak bola Indonesia?
PSSI sering menyuarakan bahwa mereka bekerja untuk kepentingan bangsa, bahwa mereka ikhlas dan ingin membangun sepak bola Indonesia. Tapi pernyataan saja tidak cukup. Publik butuh bukti nyata. Lima tahun tanpa trofi harusnya jadi refleksi, bukan sekadar catatan.
Jangan sampai pembangunan sepak bola hanya menjadi proyek citra. Jangan hanya memikirkan headline media, tapi pikirkan juga nasib ribuan anak muda yang bermimpi jadi pemain sepak bola profesional. Mereka butuh panggung, bukan bangku cadangan.
Sepak bola seharusnya jadi alat pemersatu, bukan alat politik. Jangan hanya bangga saat timnas lolos turnamen besar, tapi banggalah jika ada sistem yang mampu melahirkan generasi baru pesepak bola Indonesia dari desa-desa kecil hingga kota besar.
“Shin Tae-yong mungkin pergi, tapi semangatnya untuk membangun dari akar tidak boleh hilang. Kalau ingin sepak bola Indonesia maju, mulailah dari sistem — bukan dari pencitraan.”